24 Desember
Pagi itu dimulai di Seulimum,
Gue sekeluarga nginap dirumah nenek untuk menghabiskan masa libur gue, namun... tiba-tiba handphone ayah berbunyi, rupanya dari Abua gue yang ngajak kami untuk ke Meulaboh untuk melayat keluarga yang meninggal disana, awalnya Ayah menolak, namun Abua memaksa untuk ikut dengan alasan mereka juga ngga akan kesana jika kami ngga ikut, well... akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk ikut karena ngga enak, saat itu juga kami bergegas pulang ke Banda untuk persiapan...
Pagi itu dimulai di Seulimum,
Gue sekeluarga nginap dirumah nenek untuk menghabiskan masa libur gue, namun... tiba-tiba handphone ayah berbunyi, rupanya dari Abua gue yang ngajak kami untuk ke Meulaboh untuk melayat keluarga yang meninggal disana, awalnya Ayah menolak, namun Abua memaksa untuk ikut dengan alasan mereka juga ngga akan kesana jika kami ngga ikut, well... akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk ikut karena ngga enak, saat itu juga kami bergegas pulang ke Banda untuk persiapan...
Singkat cerita, kami sudah berkumpul untuk berangkat ke Meulaboh, kami berangkat dengan 3 mobil, gue sekeluarga numpang mobil Yahcek yang juga ikut saat itu, setelah persiapan kami kira cukup, kamipun berangkat.
Diperjalanan gue terkesima dengan semua pemandangan yang
ada, karena saat itu umur gue masih 10 tahun dan ngga pernah sekalipun ke
Meulaboh, palingan cuma sampe jalan Lhoknga untuk ke pantai, sepanjang jalan
mata gue ngga lepas dengan semua
pemandangan gunung di sekitar, suasana yang sejuk, semuanya hijau,
“ternyata masih banyak yang ngga gue tau di Aceh ya” gumam gue
“ternyata masih banyak yang ngga gue tau di Aceh ya” gumam gue
“Mal, coba liat tuh” suara sepupu gue, bang Fairus
membuyarkan lamunan.
“mana?” jawab gue
“itu, yang pulau itu” sembari menunjuk kearah pulau yang ada di tengah laut depan gunung yang sedang kami lewati
“oh iya, yang kita lihat di kalender kemarin” jawab gue kagum.
“mana?” jawab gue
“itu, yang pulau itu” sembari menunjuk kearah pulau yang ada di tengah laut depan gunung yang sedang kami lewati
“oh iya, yang kita lihat di kalender kemarin” jawab gue kagum.
Setelah kira-kira 6 jam kami di perjalanan, akhirnya kami sampai
di rumah saudara yang disana,
rumahnya di tepat di pusat kota, gue lupa nama daerahnya, soalnya udah 10 tahun lalu...
rumahnya di tepat di pusat kota, gue lupa nama daerahnya, soalnya udah 10 tahun lalu...
Sesampai meletakkan semua barang disana, kami langsung menuju
rumah saudara yang meninggal itu, singkat cerita... sesampai disana gue melilhat
sekeliling, rumah yang kami kunjungi adalah rumah panggung yang udah disambung
dengan rumah permanen, rumah itu langsung menghadap ke sungai, di belakangnya ada sebuah meunasah
yang dimana untuk ambil wudhu langsung dari sungai, suasananya kampung banget,
adem.
Setelah melayat, kami kembali ke rumah sebelumnya untuk
beristirahat, setelah makan malam gue, kakak, dan sepupu ngobrol-ngobrol hingga
larut malam.
Keesokan harinya gue dan sepupu lagi main-main sama
keponakan, yang umurnya masih 10 bulan, saat itu masih jam 7.30 pagi, Ayah sama
semua sodara yang ikut lagi ngpoi di teras rumah, gue dan sepupu masih asik sama keponakan,
namun tiba-tiba gue merasa aneh, gue merasa badan goyang-goyang ngga nentu,
sekeliling mulai berisik, gelas-gelas mulai saling beradu, dentingan semakin
keras...
“Ampon! Keluar, GEMPA!” seru Ayah gue
Gue seketika lari keluar dan duduk sebelah Ayah gue, gempa
semakin berat, gue ngeliat rumah dua tingkat depan rumah sodara gue berayun ke kiri-kanan,
gentengnya runtuh, seketika suasana chaos!
Suara lantunan “Lailahailallah” semakin besar kami
lantunkan. Mobil yang sedang terparkir mulai menabrak satu sama lain, suara
alarm mobil juga menambah kepanikan kami... setelah kurang lebih 10 menit
terjadi gempa, ayah gue memulai pembicaraan.
“mungkin ini, yang kemarin Abu Woyla bilang untuk ngga usah pulang dulu, karena beliau bilang besok akan ada bencana.” tutur Ayah.
ucapan Ayah seketika membuat kami semua membisu.
“mungkin ini, yang kemarin Abu Woyla bilang untuk ngga usah pulang dulu, karena beliau bilang besok akan ada bencana.” tutur Ayah.
ucapan Ayah seketika membuat kami semua membisu.
Abua langsung mencoba menelpon ke Banda Aceh, dan ternyata
tidak bisa terhubung.
Tiba-tiba terdengar dari jalan raya, “AIR! AIIR! AIR LAUT
NAIK!”
Kami sekeluarga yang saat itu sudah siap untuk berangkat
pulang, panik! Kepanikan kami meningkat dari sebelumnya,
Gue, bang Fairus, Ayah dan beberapa sodara lainnya bergegas
masuk ke mobil Yahsu, kakak dan Nyanyak berangkat bersama Ayahnya bang Fairus,
Yahcek. Di perjalan ketiga mobil berpisah karena jalanan penuh dengan
orang-orang yang panik.
Kami kebingungan kenapa mereka berlari dan ngga jarang gue
ngeliat orang-orang menangis. Suasana sangat chaos, saat kami menaiki jembatan
yang menuju jalan kearah laut. Ayah berteriak,
“Dek yub! Balik liat tuh air laut!” seru ayah gue memerintahkan Yahsu gue untuk memutar balik haluan. Dan benar... gue melihat air laut setinggi pohon kelapa, menebas segala sesuatu didepannya.
“ini Tsunami!” teriak Yahsu gue yang pernah belajar di luar
negeri bagian perairan.
Dengan sigap, Yahsu memutar balik haluan mobil. Namun kami
dihadang oleh tentara yang menaiki mobil RIO yang memaki kami untuk minggir,
dan semua penumpangnya adalah anak-anak...
Yahsu tidak memperdulikan omongan tentara itu, dan kembali memacu mobil untuk menyelamatkan diri. Gue ngga bisa bicara apa-apa, gue dan sepupu cuma diam, membisu.
Kami hilang arah, dua mobil keluarga lainnya, ntah kemana...
Kami terus berjalan tanpa henti, hingga tiba-tiba Ayah
melihat mobil Yahcek di tepi jalan, dan benar, Gue melihat Nyanyak menangis
histeris disana...
Suasana haru menambah pekatnya suasana jalan yang sangat
chaos. Nyanyak memeluk erat gue sambil menangis haru. Gue masih diam, ngga bisa
bicara apa-apa...
Singkat cerita, kami memutuskan untuk kerumah sepupu Abua,
Ajabudi.
Rumahnya jauh dari kota, dan merupakan tempat yang tinggi, sesampai disana suasana haru kembali menyelimuti kami semua...
Rumahnya jauh dari kota, dan merupakan tempat yang tinggi, sesampai disana suasana haru kembali menyelimuti kami semua...
Malamnya, kami memutuskan tidur diluar karena gempa susulan
masih terus terjadi. Dan ngga jarang warga sekitar membawa jenazah-jenazah yang
jumlahnya ngga terhitung lagi... gue mengira ini adalah kiamat.
Setelah kurang lebih 3 hari kami menetap disana, kami
memutuskan untuk kembali berpindah ke rumah sodara yang kami melayat kemarin.
Sesampai disana keharuan masih terus menyelimuti kami.
kira-kira dua minggu kami berada di Meulaboh, hingga suatu ketika Abua mendapatkan bahan bakar dari temannya yang merupakan pemilik SPBU di sana. Kami mendapatkan 3 jerigen besar bahan bakar premium, Yahsu memutuskan untuk pulang duluan ke Banda Aceh menggunakan sepeda motor melalui jalan yang memutar gunung. Yang kabarnya jalannya sangat rusak.
kira-kira dua minggu kami berada di Meulaboh, hingga suatu ketika Abua mendapatkan bahan bakar dari temannya yang merupakan pemilik SPBU di sana. Kami mendapatkan 3 jerigen besar bahan bakar premium, Yahsu memutuskan untuk pulang duluan ke Banda Aceh menggunakan sepeda motor melalui jalan yang memutar gunung. Yang kabarnya jalannya sangat rusak.
Persiapan pun selesai, Yahsu dan salah satu sepupu gue yang
di Meulabohpun berangkat.
Keesokan harinya kami juga memutuskan untuk pulang
melalui jalan takengon, melewati gunung Beutong Ateuh.
sepanjang jalan gue hanya bisa melantunkan Asmaul Husna yang diputar di kaset tape mobil, seluruh kota Meulaboh rata, yang tersisa hanya puing-puing, bangai kerbau, sapi begitu banyak di tepi jalan...
Sesampai di jalan gunung Beutong Ateuh...
jalan yang kami lalui sangat tidak mudah. Jalan berkelok dan dipenuhi tanjakan yang sangat curam, serta lumpur sepanjang jalan.
jalan yang kami lalui sangat tidak mudah. Jalan berkelok dan dipenuhi tanjakan yang sangat curam, serta lumpur sepanjang jalan.
Di perjalanan kami di supiri oleh seseorang yang bisa
dikatakan sudah khatam jalan Beutong Ateuh, yang bernama Raja Tembaga.
Diperjalanan gue tiba-tiba merasa mules, dan memutuskan
untuk mencari tempat untuk menuntaskan hajatan gue.
Gue dan bang Fairuspun turun dari mobil sambil membawa sebotol
air mineral.
singkat cerita, gue udah selesai menyelesaikan hajatan. Namun dijalan menuju kembali Bang Fairus melihat hal yang naeh dijalan yang penuh lumpur itu, yaitu ada tapak Harimau yang dimana jarinya berjumlah 6 diatas bekas ban motor yang barusan melintas. Sesampai di Mobil bang Fairus menceritakan hal tersebut ke Ayah gue, dan ternyata ada seseorang dari mobil yang juga melintas disana mendengar cerita tersebut dan menghampiri kami sembari berkata\
singkat cerita, gue udah selesai menyelesaikan hajatan. Namun dijalan menuju kembali Bang Fairus melihat hal yang naeh dijalan yang penuh lumpur itu, yaitu ada tapak Harimau yang dimana jarinya berjumlah 6 diatas bekas ban motor yang barusan melintas. Sesampai di Mobil bang Fairus menceritakan hal tersebut ke Ayah gue, dan ternyata ada seseorang dari mobil yang juga melintas disana mendengar cerita tersebut dan menghampiri kami sembari berkata\
“oh itu teman saya ngga apa.”
Kemudian Raja Tembaga mengatakan bahwa orang tadi adalah
pawang Harimau, dan Harimau yang kami lihat tadi adalah Harimau jadi-jadian.
WOW! Gue kagum sambil kaget.
Setelah mobil terbebas dari lumpur, gue melihat kearah
hutan, dan memang benar, gue melihat harimau sedang melihat kearah kami di
semak-semak. Ukurannya melebihi ukuran harimau pada biasanya. Dan ketika gue
melihat sekali lagi, harimau itu sudah menghilang.
Setelah 2 hari diperjalanan kami tiba di takengon,kami
berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar.dan langsung melanjutkan perjalanan
ke Banda Aceh.
Singkat cerita. Kami tiba kembali di Seulimum, keharuan
kembali menyelimuti kami, tangisan pecah. Semua mengira kami sudah tiada.
Dan sesampai disanalah kami baru tahu, Banda Aceh rata
dengan tanah...
tulisan diatas adalah tugas mata kuliah penulisan kreatif, yang ditugaskan oleh Pak Mubarak
0 komentar:
Posting Komentar