Pesan Damai Dari Teh di Tanah Sunda

by 21.00 2 komentar
“WHAAAAT, film Deadpool keluar bulan depan!” teriak Adit
“tanggal berapa?” tanya gue ikutan kaget
“disini sih ditulis tanggal 11, ngga tau deh di Indo kapan mungkin tanggal 12” jawab adit sambil sesekali men-scroll tabnya
“kita harus nonton!”
“yooooi!!!!” teriak adit memecah keheningan kamar
Berawal dari percakapan tentang film itu, gue memutuskan untuk segera booking tiket ke luar kota, dan kami memutuskan menontonnya di tanah Sunda, Bandung.

Sebenarnya bukan hanya karena itu, tapi karena gue butuh waktu untuk katarsis.


***

“Yah, adek ke bandung ya tanggal 11, sekalian liat yahmuda disana” ujar gue memulai pembicaraan
“berapa lama disana?”
“mungkin 2 minggu...”
“loh ngapain lama-lama disana, seminggu aja cukup kok buat keliling bandung” kata ayah ke gue dengan nada udah mulai sedikit meninggi
“yaaaa kan, ngga dibandung aja. Palingan seminggu di bandung sisanya di jakarta, sekalian liat sodara disana.”
“yaudah, udah pesan tiket?”
“udah... tinggal bayar aja nih”

Dan fix, gue berangkat tanggal 11 kesana, gue ngga sendiri kesana, gue ajak Be dan sepupu gue, arief, dari medan juga ikut karena oom gue yang  gue panggil yahmuda adalah ayahnya yang baru aja di pindah tugaskan ke sana semenjak naik pangkat Letnan Kolonel di militer.
Arief juga ngga sendiri, dia juga ngajak temen dekatnya iqbal, ya.. kami semua sudah saling kenal sejak lama, jadi ngga akan ada masalah yang berarti nantinya.

Singkat cerita,

Tanggal udah berganti. Hari ini gue berangkat...
tepat jam 6 pesawat lepas landas dari Tanoh Aceh menuju Tanah Sunda yang sebelumnya harus transit terlebih dahulu di Tanah Batak, disanalah gue nantinya bakalan satu pesawat dengan Arief dan Iqbal.

Dan kalian tau? Di pesawat yang menuju kota Medan Gue duduk di kursi yang tepat di pintu darurat. Be,ntah dimana. Ntah deh bisa random gitu urutan kursinya, padahal pas check-in barengan.
nah,  bagi orang-orang yang duduk di pintu darurat, tentu, ada pengarahan tambahan dari pramugari tuk kami. Gue mendengar khidmat arahan dan permohonan mbak-mbak pramugari yang ujung-ujungnya dia bilang “nah, karena bapak-bapak duduk dekat pintu darurat, jika nanti pesawat diharuskan melakukan pendaratan darurat, apakah bapak sekalian bersedia membantu kami untuk membuka pintu darurat ini?” mendengar kata-kata itu, gue merasa telah diberi mandat yang besar...

Dengan tatapan nanar melihat ke mbak-mbak pramugari yang make-upnya ketebalan, gue menggangguk mantap, sambil ngomong dalam hati “yes. I Do”

Dan sampai pesawat mendarat, Alhamdulillah gue ngga perlu buka itu pintu darurat.

Dan tibalah gue dan Be di bandara Kualanamu, transitnya lumayan lama, kurang lebih 2 jam.
Setelah kurang lebih satu jam setengah mutar-mutar itu bandara, akhirnya gue ketemu sama Arief dan Iqbal, mereka baru aja sampe.

Pusat informasi udah mengumumkan bahwa pesawat tujuan bandung akan segera berangkat, singkat cerita kami berempat udah di dalam pesawat, dan sama... kursinya random. 

Bukan itu bagian terburuknya, tapi ini...
Gue duduk di barisan tengah, dan sebelah gue itu adalah ibu-ibu yang keliatannya ibu-ibu sosialita yang dipaksakan, ibu ini masuk pesawat dengan membawa banyak barang, satu koper, satu tas ibu-ibu pada umumnya, dan DUA KANTONG PLASTIK PENUH KERIPIK YANG NTAH DEH APA AJA ISINYA yang beliau taruh di bawah kursi, kebayang kan? Begitu rempongnya ini ibu-ibu.

Dan tiba-tiba mbak-mbak pramugari nyamperin itu ibu-ibu sambil ngomong
“Maaf bu, barangnya ini boleh di taruh diatas aja?”
“aduh dek, ini kan snack kami... kami kan suka ngemil soalnya” mendengar kata-kata itu... pengen banget gue teriak di depan muka itu ibu-ibu. “BODOOO AMAT BUUUUK BODO AMAAAAAT!”

Mendengar penjelasan yang bodo amat dari itu ibu-ibu, mbak pramugarinya bilang
“Bukan begitu bu, ini kan memang peraturan dari maskapai penerbangan, barang bawaan ngga boleh ada di lantai, karena jika nanti kami harus melakukan pendaratan darurat, ibu jadi susah, cuma mempersulit jalan keluar ibu, ibu lebih sayang snack ibu atau nyawa ibu?

BANG!!! Headshot!

“gimana bu? Boleh kan barangnya saya taruh diatas aja?” tanya si mbak pramugari

Dengan muka manyun sepet ala ibu-ibu ngambek, si ibu ngejawab “iya” tanpa melihat ke arah si mbak pramugari

“maaf bu ya..” kata si mbak pramugari sambil ngambil itu dua kantong kresek dan memasukkannya ke bagasi dalam kabin.

Ada-ada aja emang...

***

Singkat cerita, kami berempat udah nyampe di tempat tinggal oom gue di daerah panorama, jalan arah ke lembang.

Dan ternyata ada kampus dekat sini, Universitas Pendidikan Indonesia. ya... yang lebih dikenal dengan UPIN dan IPIN, eh bukan, UPI doang.

Dan itu artinya... bakalan banyak gadis geulis sekitaran sini!

Tapi gue ngga se-excited itu... tujuan gue kemari bukan buat cuci mata. Tapi sembuhin hati.

“aku udah dibandung, kapan kemari?” gue mengirimkan pesan singkat ke Adit
“ntar sore kami berangkat kesana, aku sama satria”
“oke mantap! Ntar kabari aja”

Perut kami berempat sudah meronta meminta untuk di isi, kami putuskan untuk makan nasi uduk dekat tempat kami tinggal...

“eh, kalo disini mereka tehnya hambar,
jadi kalo mau manis pesennya es teh manis,
 bukan es teh aja kaya di tempat kita” kata gue ke Be, Arief dan Iqbal

Tidak lama ada aa’ (panggilan sopan untuk abang/mas) memberi kobokan dan segelas air berwarna seperti teh.

“coba rasa deh be, hambar kan?” gue menyuruh Be untuk mencoba duluan
“yak! Mantap! hambar” kata Be agak berbisik

Ya, culture shock pertama kami disini. Teh hambar.

Lupakan sejenak soal teh hambar, gue mau cerita hal pertama yang sangat buat gue senang sesampai disini adalah. Suasananya, dingin... padahal matahari sedang terik-teriknya, jalanan disini juga macet, tapi ngga ada sekalipun suara klakson yang keluar dari tiap kendaraan yang terjebak macet. Orang bandung sabar-sabar ya, belum lagi cara bicaranya yang sopan... contohnya setiap angkot yang kami tumpangi, selalu saja ada beberapa pengamen yang penampilannya bertindik, bertato, namun sangat sopan. Jelas, baik buruknya orang bukan dari apa yang menempel ditubuh mereka, meskipun mereka telihat sangat ngga teratur hidupnya, bukan berarti mereka amoral. Lebih amoral mereka yang suka tidur di rapat parlemen, dengan jas mewahnya, namun memakan uang rakyat.

Gue mendadak bijak...

Hari mulai menjelang sore, suhu udara sudah semakin dingin, dan awan mendung sudah memenuhi langit, sepertinya hujan bakalan turun... belum sehari gue di bandung, gue sudah rindu senja di ujung Sumatra.

Dinginnya kota ini buat gue tenang, terlalu tenang, hingga mematahkan rindu yang gue punya tuk segala yang ada, yang sekarang gue tinggalkan ribuan kilo dari sini. Yang dimana rindu itu adalah sayap tuk gue pulang.

***

“sekitar satu jam lagi kami sampe ke bandung.” Gue membaca pesan LINE dari adit
“oke, ntar kalo udah sampe terminal, naik aja angkot yang jurusan kalapa-ledeng, ntar turun di panorama, supirnya ngerti kok” balas gue
“oke!”

Satu jam sudah berlalu, sekarang udah pukul 7 malam, dingin udara mulai menusuk tulang... tapi ngga sedingin air dalam bak mandi, gue serasa mandi dengan es kristal.

Tiba-tiba ada telepon masuk di hp gue, dan itu dari satria,
“kami di depan panorama nih,
lagi makan malam di warung padang.” Suara satria terdegar di ujung telepon
“oke, gue kesana sekarang, ngga jauh kok”
“sip!”

Dan bertemulah gue dengan Adit dan Satria.

“Yooo apa kabs!” sapa gue dari luar warung padang
“sup nigga!!” jawab adit sok-sok gangster
“akhirnya kita liburan bareeeng!” kata gue excited
“yoii, eh besok kemana?” tanya adit menghembuskan asap rokoknya
“Besok kita jalankan rencana kita, nyari tiket nonton DEADPOOL!”
“mantap! Dimana kita nonton?”
“Di Ciwalk aja, dekat dari sini, katanya Apis A juga besok nyampe kemari”

Setelah selesai ngobrol kamipun memutuskan untuk kembali ke rumah oom gue untuk beristirahat.

***

Keesokan harinya.
Kami langsung memulai rencana kami tuk beli tiket nonton biar ntar ngga ngantri sembari nunggu Apis A yang sedang dalam perjalanan ke bandung.

Singkat cerita, Apis A udah sampe dan jam sudah menunjukkan pukul setengah 5 sore, dan film sudah diputar...

Dan film ini cukup mengejutkan gue, ntah cuma perasaan gue, atau karena sedang baper-bapernya dengan keadaan... pacarnya Deadpool. Sangat mirip dengan seseorang yang pernah ada di samping gue. Kata-kata yang dia sampaikan kepada Deadpool juga sama dengan kata-kata yang pernah dia bilang ke gue...

Ya, satu kenangan kembali bangun dari tidurnya.

Setelah film selesai, gue browsing foto pemeran yang gue maksud barusan, dan gue menemukan wajah yang mirip dengan dia. Gue simpan, karena gue sudah memutuskan untuk menghubungi dia malam ini. Menyelesaikan rindu ini, agar secepatnya tidur kembali dan mati.

Malamnya.
gue mengirim foto itu kepada dia.

“aku? Aku yang kamu bilang mirip dengan pemeran di film yang tadi kamu update di Path?”
“iya...”
“aku ngga nyangka loh, aku tersentuh”
“kata-kata dia dalam film juga persis dengan kata-kata yang pernah kamu bilang ke aku ”
“oh ya? Aku ngga sabar nunggu download-tannya keluar, aku penasaran
oh iya, kamu kapan pulang?”
“ngga tau...”
“kenapa terlalu lama disana? Kenapa kamu lari?”
“kamu tau soal itu?”
“iya, nadia cerita ke aku.”
“aku perjelas ya, aku kemari bukan melarikan diri, aku hanya mencari tenang disini. Dan aku kemari bukan karena dia.”
“berapa lama lagi kamu terus disana? Apa kamu ngga rindu rumah?”
“aku ngga punya rindu lagi untuk siapa-siapa” dalam hati gue berkata “aku menghubungi kamu agar rindu ini juga mati”
“kamu ngga rindu ayah? Nyanyak? Kakak? Teman-teman kamu? Atau... aku?”
“kamu? Selalu.”
“permasalahan aku sama dia sama seperti masalah yang pernah ada antara kita kan?”
“beda...”
“beda apanya? Kamu juga ninggalin aku,”
“jujur, sampai sekarang belum ada yang bisa buat aku seperti saat aku sayang ke kamu, dan sampai sekarang aku masih sayang kamu, aku masih peduli sama kamu.”
“bohong, aku ngga percaya. Sekarang aku minta kamu stop peduli sama aku”
“kenapa? Aku ngga bisa”
“bisa, ada orang yang lebih layak kamu perdulikan,
sekarang kamu punya dia yang selalu kamu rindu”
“terus? Salah aku peduli dengan keadaan kamu?, pulang secepatnya, aku siap mendengar semua masalah kamu.”
“itu ngga akan merubah keadaan”
“ya meskipun begitu, kamu harus tau, aku selalu ada buat kamu.”
“makasi, tapi aku nyaman disini”
“kamu harus lalui ini semua, kembalilah secepatnya... kami rindu.”
“aku udah pernah lalui ini sebelumnya. Aku bisa sendirian”
“iya aku tau, meskipun umurku lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih dewasa. Aku akan tunggu kamu pulang. Pulanglah secepatnya”
“udah, berhenti peduli ke aku.”
“iya, tapi kamu harus pulang.”
“jika aku pulang, kamu harus stop peduli ke aku. Bisa?”
“kenapa kamu bisa memberi pilihan seperti itu? Aku ngga bisa.
oke, aku akan stop terlihat peduli dihadapan kamu.”
“terserah, aku cuma mau kamu stop peduli sama aku.”
“kalau begitu pulanglah secepatnya...”
“iya. Tapi aku ngga janji.”
“baiklah aku harus tidur. Besok aku harus masuk kantor... pulanglah secepatnya, kami rindu.
selamat tidur kems ”
“ya, selamat tidur.”

Percakapan kami selesai jam 1 malam, ntah kenapa gue menjadi raja tega barusan dihadapan dia.

***
sudah hampir seminggu kami disini, dan sudah hampir seminggu juga kami lupa bagaimana rasanya Teh manis, bisa saja kami memesan es teh manis, hanya saja teh hambar disini pengganti air putih, jadi tiap pesan makan di warung, mereka langsung menyajikan teh hambar tanpa diminta. Gue pribadi memilih untuk tidak memesan es teh manis, karena rasa teh hambar itu juga ngga terlalu buruk kok, gue udah terbiasa dengan rasanya, awalnya memang tidak enak tapi semakin sering gue minum teh ini, rasanya biasa saja, dan alasan paling utama adalah, teh hambar gratis, terserah mau refill berapa kali. Persis kalo kita minum air putih di warung di Banda Aceh pada umumnya.

Oh iya hari ini adalah hari dimana kami akan berkunjung ke Tangkuban Perahu, temen gue satu MTsN, Ghina yang pindah ke bandung untuk kuliah menjadi tour guide kami kali ini. Selain ke sana, kami juga mengujungi tempat-tempat maistream buat para wisatawan yang searah dengan Tangkuban Perahu, seperti Dusun Bambu dan Kebun Teh. Malamnya kami makan malam di daerah Punclut, jadi disini rumah makannya berada di puncak dan di sini gunung, ya namanya juga bandung kan emang di gunung... menariknya kita bakalan makan malam dengan pemandangan bandung dari atas, ditemani lampu-lampu dari tiap rumah yang terlihat dari kejauhan, sayangnya kali ini kami kurang beruntung, kabut cukup tebal hari ini, jadi pemandangan tidak terlalu terlihat. Tapi semua ini cukup indah. Cukup membuat gue lupa akan percakapan antara gue dan dia beberapa malam lalu.

***

Sudah seminggu kami berada di Bandung, kami harus melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya, Jakarta.

Kami berangkat ke Jakarta dengan kereta api, waktu yang harus kami tempuh kurang lebih 3 jam.
Gue tidur sepanjang perjalanan, hanya terbangun sesekali untuk mengecek HP kali aja ayah menghubungi gue.

3 jampun berlalu, kami sudah tiba di Jakarta di stasiun gambir.

Singkat cerita setelah menumpang taxi uber, tibalah kami di jakarta barat daerah puri indah, rumah oom gue yang gue panggil Yahwa, di jakarta gue ngga banyak kemana-mana, hanya 2 hari karena dijemput sepupu gue; bang akbar, anak kedua yahwa untuk nginap dirumahnya. Ya hanya selama itu kamu menghabiskan waktu mutar-mutar kota jakarta yang macetnya dimana-mana.

Selebihnya, gue menenangkan diri...

Mengingat masih ada dua rindu lagi yang harus gue bunuh secepatnya...

Disini gue kembali mengingat apa yang membawa gue untuk  pergi ribuan kilometer dari rumah, bertahan hidup dengan uang yang pas-pasan.

Berawal dari masalah gue dengan seseorang yang gue sebut dia pelangi disini, dan cerita antara gue dan pelangi ngga akan gue tuangkan dalam tulisan.

Sebelumnya, gue pernah berkata ke seseorang, Langit. Akan tetap menunggunya berubah pikiran, ya... gue masih di keadaan itu.

Lantas apa hubungan gue dengan Pelangi? Selayaknya nama yang gue pilihkan ini, dia datang untuk menyemangati gue setelah perihal Langit,

Namun ternyata gue cuma menyiram bensin padanya yang api.
Kami berdua berhasil membakar diri.
terlalu hancur gue dirusak keadaan, sama halnya dengan pelangi.

Terlalu hancur, hingga semua cerita pilu yang sedang menuju tidur abad menuju mati, ngga sengaja gue bangunkan.

Malam itu gue coba menghubungi mereka berdua. Pelangi dan Langit.
Gue ingin semuanya selesai secepatnya.

Gue menghabiskan sisa-sisa malam melalui pesan singkat dengan mereka.
intinya Pelangi sudah bahagia disana, begitu juga dengan Langit. Sekarang tinggal gue sendiri.

Untuk secepatnya mengakhiri rindu ini.

***

beberapa hari sebelum kami pulang.
kami menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke Puri Indah Mall, sekedar cuci mata, sekalian hunting buku.

Sesampai disana, gue melihat-lihat novel keluaran terbaru, kali aja diantara mereka ada jalan keluar untuk keadaan gue.

Mata gue terhenti melihat buku terbaru boycandra “Kuajak Kau ke Hutan dan Tersesat Berdua”

“kayanya menarik,” pikir gue
Gue ambil buku yang sudah terbuka sampul plastiknya dan mulai membaca pada tiap-tiap halamannya, buku kumpulan puisi ini penuh dengan sajak-sajak jatuh cinta, dia membahas seseorang dengan sekian banyak puisi yang ada.

Gue menaruh kembali buku itu dalam raknya, gue urungkan niat untuk membelinya...
Malamnya ntah kenapa gue merasakan ada kelegaan dalam diri gue, dan memutuskan untuk menulis sedikit sajak.

Menari sebelum tidur
Tiap kali malam sudah mati, membangunkan pagi.

Aku masih terjaga melihat langit-langit kamar.

Dan kalian begitu sibuknya menari dalam hayalku.

Tarian penuh luka, gerakan tangan isyarat pergi, putaran tubuh selayaknya pisau kenangan, mengiris hingga tak ada lagi yang bisa kalian iris.

Sebelum tidur, biasanya begitu.
kini, tarian kalian ntah kemana.
Aku sadari, ternyata aku yang melatih kalian menari seperti itu.
Sekarang tidak ada lagi koreo yang baru.
Aku memilih berhenti melatih tarian-tarian peluka ingatan, yang tiap malam membunuh malamku

tenang sudah tiba.

rindu sudah usai.

tidurku kembali lelap

Ya, malam itu adalah dimana tidur gue kembali nyenyak.

***

Beberapa hari setelahnya, Arief dan Iqbal pulang duluan ke Medan, sedangkan kami keesokan harinya. Karena harga tiket pulang ke Aceh beberapa ratus ribu lebih mahal.

Sekarang tinggal kami berdua di jakarta, dan pada akhirnya gue memutuskan untuk kembali ke gramedia untuk membeli buku boycandra itu, dan juga menemukan bukunya Tere Liye; Hujan.

Membaca judul buku Tere Liye, gue teringat saat di bandung, dan teringat akan tehnya yang hambar, dan malamnya gue kembali menulis sebuah sajak,

Hambar
langkah yang pernah aku coba sesuaikan sudah terhenti.
kini langkah kalian lebih teratur dan tegap.

aku tidak lagi melangkah.
kutinggalkan langkah itu ribuan kilometer jauhnya.
aku memilih berlari.
mencari tenang di kota sana.

bukan. aku bukan melarikan diri.
juga bukan bersembunyi.

aku mencari tenang.

Dingin kota ini menenangkan langkahku.
Tapi juga mematahkan rindu.
Yang menjadi sayapku tuk pulang

Dingin kota ini juga beku,
Cukup membatukan hati akan kalian

Kota ini mengajarkanku tentang rasa hambar.
Seperti teh yang menjadi teman makan ku selama disini.

Manis memang bukan temanku sementara waktu
Aku sudah terbiasa menerimanya.

Nanti, aku pulang.
Dengan langkah yang berbeda.
Membawa hati yang baru

Selayaknya teh hangat di tanah sunda.

Hangatnya tetap, seperti hangat pada biasanya,
Menghangatkan

Tapi tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Hambar akan kalian.

Sajak itu gue posting di media sosial gue.

Ngga lama, salah seorang temen yang juga seorang pembaca tulisan-tulisan gue, ngechat di LINE

“Di sunda ngga ada gula ya?
sedih, teh bisa hambar” gue tersenyum membaca isi chat Vany
“ada, tapi mereka ngga suka minum teh manis, dimana-mana kalo makan di warung tehnya hambar, pengganti air putih, dan gratis” jawab gue
“jadi, hubungan teh hambar sama melupakan masa lalu apa?”
“gue belajar dari teh itu, pertama gue kaget, ngga suka, tapi lama-lama terbiasa, intinya tentang menerima, sekarang gue udah terima semuanya yang udah lewat, udah terbiasa”
“tulis dong, sesuatu kaya pesan damai dari teh hambar. Post di blog, aku butuh bacaan”
“soon, oh iya! Thanks buat judulnya, tapi sedikit aku ubah, jadi pesan damai dari teh di tanah sunda”
“ah, kamu kems, sekian tahun hidup dalam manis yang sering berakhir pahit,
 siapa sangka ternyata kamu mencicipi kedewasaan dalam seteguk hambar yang membawa damai.”

Membaca kata-kata vany, ada senyum yang mengembang dari bibir gue. Kata-kata Vany bener.

Akhir cerita, setelah perjalan yang gue lalui, gue pulang. Dengan keadaan jauh lebih baik.

Dan gue juga sudah membaca Buku Hujan; Tere Liye sampai selesai...

Buku itu mengingatkan Hujan yang tiap sore jatuh di kota bandung.
Hujan, memang selalu berteman dengan kenangan, dan ada saja hujan yang gue lalui bersama mereka yang sekarang sudah pergi.

Gue masih ingat tiap tetes hujan yang ada antara gue dan mereka, hujan memang selalu berhasil memulangkan kenangan perihal gue dan mereka... bukan, bukan berarti saat bersama salah satu dari mereka gue mengenang yang lainnya, bukan seperti itu.

Hanya saja kali ini gue sendiri yang memaksa membuka kembali  kenangan hujan bersama mereka

Hujan kali ini cukup memberi pelajaran tuk gue,
seperti yang Tere Liye tulis di buku Hujannya.

Kenangan selayaknya hujan, kita ngga bisa memaksanya untuk reda. Yang bisa kita lakukan, hanya menunggu kenangan itu reda dengan sendirinya.

Tapi kali ini kenangan yang ada belum reda, mereka yang pernah ada kekal di dalam sana, tapi rasa dari tiap kenangannya. Sudah.

Gue sudah sepenuhnya menerima semua yang udah lalu, bisa menerima, bisa melupakan...

Masalah dan kenangan itu Selayaknya teh hambar. Biasakan, terima, akhirnya lupa, hingga yang tersisa hanya hangatnya teh. Hangatnya rasa ikhlas. Berdamai dengan masa lalu.

2 komentar: